Oleh : Isak Edison Kaesmetan

Indahnya Toleransi Di Desa Oelet

Kupang, lensantt.com – Waktu tepat menunjukkan pukul 10.00 WITA, kami pun memutuskan untuk berangkat dari Kota Kupang menuju kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dengan menggunakan sepeda motor pada Sabtu, 08 September 2018.
Teriknya matahari mengiringi perjalanan kami. Terkadang kami harus membasuh keringat karena sengatan matahari. Namun, semangat untuk mengetahui indahnya toleransi di desa itu membuat kami terus melaju. Ditengah perjalanan kami pun sempat beristirahat sejenak di Desa Batu Putih Kabupaten TTS untuk bertanya letak tempat yang sudah menjadi “Buah Bibir” karena toleransi antar umat beragama.
Menurut Tinus Kase (warga), untuk sampai di tempat itu masih sekitar 70 km perjalanan. Mendengar itu, kami sempat terperangah karena jarak yang masih sangat jauh. Kami saling menatap kemudian kami memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan.

Bayang-bayang akan indahnya Toleransi di desa itu ini mulai terasa, karena sepanjang perjalanan terlihat bangunan Masjid dan gereja yang berdampingan. Tepat pukul 5.00 wita kami tiba di Desa Oelet, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten TTS provinsi NTT. Melelahkan memang karena harus menempuh 7 jam perjalanan dan hampir 200-an kilo meter untuk sampai di desa itu.
Saat tiba, orang pertama yang kami temui adalah Muhammad Nurdin Tapoin kepala desa Oelet. Kisah panjang pun terurai dari bibir Muhammad tentang indahnya toleransi di desa tersebut.
Diawal perbincangan Muhammad mengatakan, kami datang ke tempat yang benar karena akan menjadi cerita yang sangat panjang jika berbicara soal toleransi di Desa itu. Pasalnya, Hidup Toleransi warga Oelet sudah dibangun sejak puluhan tahun lalu.
“Kalau cerita soal toleransi didesa ini panjang pak. Bisa tiga buku,” guraunya.
Menurut dia, di Desa tersebut terdapat tiga penganut Agama yakni, Kristen Khatolik, Kristen Protestan dan Islam. Kendati berbeda agama namun, tidak pernah terjadi percecokkan diantara mereka semua masalah akan diselesaikan tanpa memandang agama apa yang dianut.
Jumlah warga Desa Oelet sekitar 1200 jiwa, dari jumlah tersebut sebagian besar adalah penganut agama Kristen Protestan, sisanya adalah agama Khtolik dan Islam. Dia menceritakan, toleransi antar umat beragama di desa itu terlihat ketika hari raya atau pembangunan rumah ibadah. Semua warga, baik itu agama Kristen Protestan, Kristen Khatolik maupun islam bergotong royong membangun Masjid maupun Gereja.
“Warga bergotong royong untuk membangun masjid maupun gereja,” tandasnya.
Diakhir cerita Kepala Desa Oelet ini berpesan agar, toleransi jangan sampai umat beragama tidak boleh hilang karena hanya dengan saling menghargai antar umat beragama maka akan tercipta kedamaian.
“Untuk menciptakan kedamaian hanya satu cara yaitu saling menghargai,” tegasnya.
Satu Darah Beda Agama
Ada satu kisah menarik dan begitu menyentuh kalbu ditengah cerita Muhammad bagaimana tidak banyak warga desa Oelet yang tinggal dalam satu rumah tapi memnganut tiga agama. uniknya,hal itu juga terjadi dalam keluarga Muhammad.
Dia (Muhhamad) mempunyai dua orang saudara kandung masing –masing, Kostantina Asbanu (Kristen Protestan), Benyamin Selan (Kristen Khtolik) dan Dia sendiri memilih untuk menjadi muslim (Islam).
“Kami Satu darah tapi beda agama” ujarnya.
Perbedaan agama itu terjadi, karena dari nenek moyang sudah memeluk ke tiga agama tersebut seahingga turun sampai ke mereka sebagai anak-anak. “ini sudah dari nenek moyang sekarang turun ke kami sekarang,”
Dikisahkannya, perbedaan agama sejak kecil itu tidak menjadi pemicu perkelahian apalagi timbulnya rasa iri dalam keluarga. Bahkan, dengan perbedaan agama itu semakin mempererat tali persaudaraan mereka.”kami berbeda tapi selalu menghargai,” kata dia.
Soal beribadah, Mereka bertiga menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut, Kostantina Asbanu (Kristen Protestan), Benyamin Selan (Kristen Khatolik) ke gereja setiap hari minggu dan Dia (Mohmmad Tapoin) setiap hari Jum’at pergi ke Masjid.
Dari Animisme Hingga Mengenal Agama
Ia juga mengisahkan, Sebelum mengenal Agama ternyata Nenek moyang mereka adalah penganut Animisme sehingga batu maupun kayu dijadikan alat untuk meminta perlindungan dan berkah.
“Dulu kalau mau minta berkat itu kami sembah kayu atau batu,” Ujarnya.
Baru pada tahun 1964 tiga orang moyang dari Muhhamad Tapoin yakni, Len Asbanu, Saka Asbanu dan Tus Asbanu mulai mengenal Agama. Dari tiga orang inilah agama Kristen Protestan, Kristen Khatolik dan Islam berkembang pesat di Kabupaten Kabupaten TTS Khususnya Amanuban Timur.
Menurut Muhammad, sebenarnya tiga orang tersebut merupakan saudara kandung yang memilih agama berbeda, Len Asbanu memilih menganut Agama Kristen Protestan, Saka Asbanu Kristen Khatolik Dan Tus Asbanu agama Islam.
Dari cerita yang ia peroleh, Tiga orang moyang itu memutuskan untuk menganut agama yang berbeda agar tidak ada lagi masalah diantara mereka karena berbeda kepercayaan menurut tiga orang moyang pada zaman itu. hanya satu pencipta dan pemberi nafas kehidupan.
“Dari cerita yang saya tahu mereka pilih untuk beda agama supaya jangan ada masalah karena beda agama,” tutur Muhammad.
Ternyata pilihan ketiga orang itu membuahkan hasil yang manis pasalnya, toleransi di desa itu terjaga sampai saat ini. Tidak pernah ada pertikaan soal agama seluruh warga desa bebas memilih untuk menganut agama apa saja.
Bahasa Adat Dan Petuah Nenek Moyang Satukan Perbedaan
Memang benar kalau kehidupan bertoleransi warga desa Oelet patut diacungkan jempol karena mereka mempunyai cara tersendiri dalam menyelesaikan persolan. Namujn juga Harus diakui kalau dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya tidak terlepas dari masalah.
Namun, bagi warga desa Oelet semua dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus berperang. Menurut Kostantinus Asbanu Salah satu Tokoh adat, sebesar apapun masalah yang terjadi di desa tersebut akan terselesaikan dengan bahasa adat.
“Hit Olif Tata Kaisa Moekuk Lasi “ yang berarti “ Kita kakak adik jangan buat masalah” Kalimat ini menjadi senjata ampuh untuk menyelesaikan permasalahan di desa tersebut.”Sebesar Apapun masalah yang terjadi kami selesaiakan dengan adat,” ujarnya.
Selain itu, warga desa sudah memegang teguh petuah dari nenek moyang bahwa tidak boleh ada perkelahian apalagi perang antar agama karena semua merupakan saudara. “Ini juga petuah nenek moyang kami,” tegasnya.
Saat terjadi salah paham antar warga, agama dikesmapingkan karena untuk mendamaikan akan dihadirkan tokoh masyarakat, Tokoh adat untuk berbicara dengan menyiapakan Nainsolo (satu kepinganUang Logam) dan Tua Boit Mese (1 botol arak).
Menurut Asbanu, Petuah-petuah para nenek moyang itu juga membuat kehidupan warga desa Oelet dengan jumlah penduduk 1200-an jiwa itu tetap damai. Kendatipun, penganut agama Kristen mendominasi namun tidak pernah ada saling cela karena agama.
Malahan warga bergontong royong saat membangun masjid atau gereja. Juga pada hari raya panganut agama islam datang memberi ucapan selamat saat natal dan sebaliknya agama Kristen memberi ucapan saat lebaran.
Bukan hanya itu, saat acara nikah makanan pun pisahkan menjadi dua tempat. binatang yang disembilih Seperti ayam, kambing dan sapi harus di lakukan oleh umat muslim. “Demi menjaga saudara kami saat pesta nikah tempat makan kami bagi dua binatang juga umat muslim yang sembelih,” kata dia.
Asbanu mengatakan, begitu kuatnya toleransi di desa itu, sehingga perang antar agama yang sempat terjadi pada tahun 1999 lalu tidak menggoyahkan kerukunan warga desa itu. Tidak satu pun warga ikut angkat sejata untuk berperang .
”Pak tahun 1999 perang antar agama di NTT ini, kami aman saja,” tuturnya.
Menurut dia, selain di desa Oelet ada beberapa desa tetangga seperti, Desa Oekam juga menjalankan hidup bertoleransi yang sama. Dia menambahkan, demi memperkuat toleransi di desa Oelet dan beberapa desa sekitar maka warga berencana untuk menamakan tempat tersebut menjadi Desa Bhineka Tunggal Ika.
“kami tokoh adat di desa ini dan beberapa desa lainnya sudah duduk bicara untuk namakan desa-desa yang toleransinya tinggi menjadi desa bhineka tunggal ika,” jelasnya.
Untuk mewujdkan hal itu, para tokoh adat, tokoh agama dari beberapa desa telah duduk bersama. Mereka juga, sudah mengusulkan nama Desa Bhineka tunggal Ika ke pihak pemerintah Kabupaten TTS.
“Kami sudah usulkan ke Pihak pemerintah Kabupaten TTS,” tegasnya.

Komentar Anda?