Kisah Haru Diakon Martin Tena Ate Saat Meraih Impiannya

  • Whatsapp

Kupang,lensantt.com – Diakon Martinus Tena Ate,Pr demikianlah nama lengkap pria kelahiran Kelembuweri, 31 Mei 1987 ini. Putera sulung dari tujuh bersaudara buah hati dari pasangan Bapak Tarsisius Dairo Talu dan Mama Kristina Soli Tangu yang akrab disapa Diakon Martin.

Pria tampan asal pulau sumba ini memulai pertualangan intelektualnya sejak tahun 1994 di SDK Kalembu Weri. Disekolah, ia tergolong siswa berprestasi, tidak heran jika guru-guru merekomendasikannya untuk masuk Seminari.

Martin awalnya masih pesimis, karena takut kalah bersaing. Ia pun melanjutkan pendidikannya di SMPK St. Gerardus Mayella Kalembu Weri, lulus tahun 2003. Dalam kurung waktu tahun 2003-2006 Martin tercatat sebagai Siswa SMA Katolik St. Thomas Aquinas Weetebula.

Benih panggilan Diakon ini, tumbuh secara bertahap. Semasa kecil, ia sering pergi bersama orangtuanya mengikuti misa di Paroki tempanya tinggal, Martin kecil tertarik untuk menginjakkan kakinya pada Jubin di panti Imam. Jubin itu diberi cat merah dan kuning yang membedahknnya dengan Jubin pada tempat umat, baginya serasa ada sesuatu yang menarik dengan panti Imam itu.

Kisah awal panggilannya berhenti disitu. Bertahun-tahun setelah pengalaman itu, yakni pada saat mengikuti ret-ret (kelas X SMA), yang di bawahkan oleh seorang Bruder dan tiga orang Suster dari Ordo Karmel, Martin dibuat terpengaruh oleh jubah sang Bruder.
Katanya ada sesuatu yang menarik dari jubah itu.

Benih panggilan itu semakin bertumbuh ketika tahun 2005, Diakon Martin mengikuti tahbisan Imam, Rm. Jack Lodo Mema, Pr dkk, Martin tergerak hatinya untuk mengikuti jalan ini. “Coba seandainya saya bisa seperti dia, betapa bahagianya saya. Tapi apa daya saya tidak perna mengeyam pendidikan di seminari, ” kisahnya.

Diakon yang pernah menjalani TOP di Seminari Sinar Buana dan Paroki St. Agustinus Tanamali ini berkisah, setamat SMA ia berniat melanjutkan kuliahnya di salah satu perguruan tinggi di Kupang namun setelah bertukar cerita dengan seorang Romo yang pada waktu itu bercerita banyak tentang seminari, niat itu akhirnya dibatalkan. Martin memutuskan untuk masuk seminari di KPA St. Paulus Mataloko.

Pada tanggal (8/7/06) ia berangkat ke Mataloko, sendirian. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak, pendaftaran masuk KPA sudah ditutup sejak bulan mei. Martin mau kemana lagi ? ketika benih panggilan bersemi malah semua pintu tertutup.

Tetapi Martin keyakinan Martin tidak Goyah karena dalam dirinya sudah tertanam suatu tekad dan dia sangat yakin kalau Tuhan selalu punya cara.

Kebetulan ada calon yang sudah lulus tes masuk KPA tapi tidak lulus SMA, Martin punya sedikit peluang. Atas bantuan seorang Fr TOP dan para pembina di KPA Martin akhirnya diterima, mengisi “tempat tidur yang kosong” itu. Setamat KPA Diakon yang merayakan Ulthanya yang ke 29 pada hari ini, memilih dan memutuskan menjadi calon Imam untuk Dioses Weetebula. Alasannya sederhana, Imam di sumba masih kurang. Sebagai putera sumba Martin merasa terpanggil untuk mengabdikan diri, menjadi pelayan Tuhan di Keuskupan Weetebula tanah tempat ia dilahirkan.

Ia melanjutkan pendidikan Calon Imamnya di TOR Lo’o Damian Atambua, ke Seminari Tinggi St. Mikael. Pada hari selasa, 31 Mei 2016, bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke 29, ia ditabiskan menjadi Diakon untuk Keuskupan Weetebula oleh Mgr. Dominikus Sapu, Pr di Kapela Seminari Tinggi St. Mikael.

Motto tabhisan yang dipilihnya adalah “Gembakanlah Domba-dombaku” (Yoh.21:16) sudah pasti bawah motto ini dipilih berdasarkan hasil refleksinya yang mendalam mengenai perjalanan panggilannya. (fredy Ladi/ Saesae,13/05).

Komentar Anda?

Related posts