So’e,lensantt.com – Kisruh Warga Besipae Dan Pemrov NTT soal lahan tak kunjung usai.
Pantauan media, rumah yang baru dibangun hanya sebanyak empat unit dengan ukuran antara 2,5×3 meter sebanyak dua unit dan 4×5 meter, dua unit, dari 29 kepala keluarga (KK) yang rumahnya telah digusur pemerintah.
Mirisnya, dalam rumah yang dibangun pemerintah itu tidak ada sekat antara kamar atapun adanya toilet. Padahal dalam satu KK yang digusur pemerintah terdapat 4 sampai 10 orang.
Pertanyaannya , layakkah mereka mendapat ganti rugi rumah seperti itu? Harusnya pemerintah berikan bantuan rumah permanen sehingga masyarakat puas dengan apa yang diberikan pemerintah.
Warga Besipae, Nikodemus Mana’o mengatakan rumah yang disiapkan tidak layak untuk dihuni, sehingga warga menolak untuk tempati rumah yang telah disiapkan pemerintah itu.
Rumah ukurannya 2,5×3 meter. Sangat tidak layak huni,” kata Nikodemus, salah satu warga Besipae yang rumah juga digusur oleh pemerintah NTT.
Namun, dia mengaku bersama istri dan empat orang anaknya sempat menempati rumah tersebut, karena tidak ada tempat berlindung, namun diusir oleh pemilik lahan. Karena rumah yang dibangun pemerintah berada lahan milik warga.
“Kami sempat tinggal, tapi kami diusir oleh pemilik lahan,” tegasnya.
Akibatnya mereka terpaksa bergabung lagi dengan 29 KK yang bertahan hidup dibawah pohon, diatas pohon, balik batu hanya beratapkan daun lontar.
Saat ini, ada sebagian keluarga yang tidur sudah beratapkan terpal yang disumbangkan dari berbagai pihak.
Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Zet Sony Libing yang dikonfirmasi terpisah membantah rumah yang disiapkan bagi warga Besipae yang digusur tidak layak huni.
Rumah mereka beratap alang-alang dan gewang, rumah tua, atau rumah kebun. Rumah mereka ukurannya hanya 2×2 meter, kecil-kecil,” katanya.
Karena itu, Pemprov NTT merelokasi mereka ke lahan seluas 800 meter yang telah disiapkan dengan rumah yang beratap seng dan berdinding bebak dengan ukuran 5×4 meter.
“Kami bangun rumah beratap seng dengan bebak baru, ukurannya 5×4 meter,” tegasnya.
Sesungguhnya, menurut dia, warga yang tinggal di Besipae, bukan merupakan warga asli disana, karena mereka miliki rumah di kampung mereka.
“Mereka hanya mau menunjukan bahwa mereka mengusai lahan itu,” tandasnya. (Ikz/***)