“Seminar ini hendak mengupas tentang budaya dari dua negara yang berada di satu daratan yakni Pulau Timor,” kata Humas seminar internasional, Mikael Radjamuda Bataona melalui rilis yang diterima media ini, 18 Oktober 2018.
Selain masalah budaya, menurut dia, persoalan hambatan pembangunan di Timor, karena faktor mental kebudayaan, tarik-ulur masalah konflik sosial kamp pengungsian, bentuk-bentuk kekerasan di sepanjang wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, dan lainnya.
Karena itu, melalui seminar ini akan dibahas ragam bentuk persoalan yang diangkat berdasarkan kajian yang dilakukan di Timor Timur maupun di Timor Barat. “Seminar ini menargetkan perumusan dan pemecahan masalah seputar aras pembangunan di kedua negara,” katanya.
Seminar internasional ini bertujuan menyajikan sejumlah hasil penelitian dalam berbagai aspek atau konteks kehidupan masyarakat Timor (Timor dan Barat) melalui pendekatan interdisipliner.
Substansi pelaksanaan seminar internasional ini terdiri dari 2 sesi besar, yaitu pembahasan oleh pembicara kunci dan pemaparan hasil kajian oleh dosen Unwira. Pembicara kunci akan dibawakan oleh Karel Steenbrink (Profesor emeritus dari Universitas Utrecht Nedetherland) dengan pokok bahasan ‘The Historical Link of Catholic Church in East and West Timor.’ Tema kajian ini akan memaparkan tentang Hubungan Sejarah Gereja Katolik antara Timor Timur dan Timor Barat.
Dari itu, lanjut dia, dapat mendeteksi kesamaan keyakinan beragama yang dianuti warga kedua negara. Orang Timor Leste bersama dengan orang Noemuti, Larantuka, dan Sikka mewarisi ritual-ritual keagamaan yang hampir sama dan karenanya dapat dikembangkan sebagai aset pariwisata religius.
Selanjutnya, tema yang sama akan dibahas secara mendalam oleh Philipus Tule, SVD (Rektor Unwira-Kupang), dan Theo Silab dari Unwira serta Dr. Manuel Vong dari Timor Leste.
Selanjutnya, topik tentang kesamaan akan mengaburkan batasan-batasan sosial di antara manusia dan memungkinkan manusia secara bersama-sama menanggapi secara positif tuntutan kebudayaan dan lingkungan akan dibahas oleh Profesor Johannes Widodo dari Universitas Singapura.
Pada sesi selanjutnya, berkaitan dengan persoalan kebudayaan, Gregor Neonbasu dari Unwira akan berbicara tentang upaya untuk mencari akar kebudayaan yang menjadikan manusia hidup dalam ekspresi kehidupan yang berbeda-beda.
Masalah lainnya yang juga menarik dalam kajian selanjutnya adalah soal ekonomi. Di mana, faktor mobilitas dan kebudayaan turut mempengaruhi persoalan ekonomi. Hal ini akan dibahas oleh Benedictus Juliawan dari Universitas Sanata Dharma. “Dia akan berbicara tentang para pekerja migrant di perbatasan Indonesia dan negara-negara tetangga,” katanya.
Adapun bahasan lainnya tentang mobilitas sosial yang menyiratkan interaksi dengan kelompok etnis lain akan dibahas secara khusus dalam kajian tentang keberadaan kelompok etnis Bugis yang tersebar dari wilayah Kupang hingga Timor Leste. “Bagaimana orang Bugis mempertahankan kebudayaan mereka dalam interaksinya dengan orang Timor ini, akan dipaparkan secara lengkap oleh Norman Said dari Universitas Islam Nasional Alauddin, Makasar,” ujarnya.
Lalu kajian yang juga menarik untuk disimak dan dipahami oleh publik adalah tentang fakta bahwa interaksi sosial di daerah perbatasan tidak hanya dipengaruhi oleh pertemuan budaya-budaya kelompok etnis yang berbeda. Tetapi juga karena dampak paparan media.
Tentunya juga, tiap persoalan yang di bahas dalam seminar ini menjadi rekomendasi bagi kedua negara – Indonesia dan Timor Leste – untuk menjembatani berbagai kesenjangan hidup dalam rangka menciptakan perdamaian dan harmoni. (Ikz)