Jakarta,lensantt.com- Anggota Komisi V DPR.RI Jefry Riwu Kore menilai pendidikan di Indonesia belum mendapat perhatian penuh dari berbagai elemen masyarakat, sebab masih banyak pemda belum menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Bahkan beberapa pemerintah daerah masih menekan biaya pendidikan dengan retribusi yang sangat mahal.
“Peningkatan mutu pendidikan merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, dan sebagian besar pemda menghambat program pendidikan di daerah itu, ”Kata Jefri Riwu Kore karib dipanggil Jeriko sebagai Anggota DPR yang menangani masalah pendidikan saat mengikuti car free day bersama warga Kota Kupang pagi tadi (Sabtu, 27/2).
Selain itu kata dia, di daerah banyak terjadi politisasi kepala daerah menghambat program pemerintah mendorong kemajuan pendidikan di daerah. “Problem ini menjadi faktor pendorong kegagalan kemajuan pendidikan di Indonesia”, terang jeriko yg juga mahasiswa teladan seluruh Indonesia tahun 1986.
Menurut dia dari hasil, investigasi Organisasi Kerja Sama untuk Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang melaporkan bahwa ada 13 juta murid yang gagal, dalam meningkatkan kemahiran dalam membaca, matematika atau ilmu pengetahuan, pada saat usia mereka mencapai 15 tahun.
Studi terbaru kata jeriko, yang dirilis oleh lembaga think-tank, Rabu (10/2), angka tersebut setara dengan lebih seperempat anak usia 15 tahun di 64 negara, dan negara-negara yang ambil bagian dalam studi PISA 2012 – organisasi studi banding pendidikan di seluruh dunia yang berbasis di Paris. Bahkan di beberapa negara, setidaknya ada 50% murid yang tertinggal di salah satu mata pelajaran utama.
Dari hasil Investigasinya OECD menyebutkan, kinerja buruk di sekolah akan lebih banyak dialami oleh negara-negara itu daripada mengucurkan dana untuk memperkenalkan langkah-langkah khusus yang diperlukan demi memerangi masalah. Kesejahteraan negara juga tidak harus menjadi faktor utama.
“Ini adalah kebijakan pendidikan dan latihan yang dapat membantu para siswa menyingkirkan halangan ini, bukan hanya sekedar hitungan pendapatan per kapita,” bunyi laporan.
Bahaya terhadap kesehatan ekonomi, negara di masa depan juga tidak dapat diremehkan karena para murid yang memiliki kinerja buruk di usia 15 tahun akan dihadapkan pada risiko putus sekolah. Kemudian tingginya proporsi dari populasi yang tidak memilii keterampilan dasar berdampak pada gangguan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Antara 2003 dan 2012, OECD menganalisis sembilan negara yang belum berhasil mengurangi jumlah siswa yang gagal meraih tingkat dasar kemahiran matematikan, yakni Brasil, Jerman, Italia, Meksiko, Polandia, Portugal, Rusia, Tunisia, dan Turki.
Di sisi lain, OECD mengungkapkan, seluruh negara dapat meningkatkan kinerja para murid dengan memberikan langkah-langkah yang mereka perlukan.
Rekomendasi pertama OECD, negara-negara itu harus memprioritaskan penurunan jumlah siswa yang berkinerja rendah dengan menggunakan pendekatan banyak jalur. Semisal, dukungan perbaikan harus disediakan sedini mungkin dalam karir sekolah yang diperjuangkan anak-anak.
Kemudian ada tanggungjawab pemerintah untuk mengindentifikasi sekolah-sekolah berkinerja rendah dan atribut pendanaan yang lebih besar secepat mungkin. Sementara itu, dalam rekomendasi yang ditujukan pada negara-negara dengan angka migran tinggi, OECD menyebutkan negara-negara itu harus ditawarkan program khusus bagi imigran dan para siswa yang menggunakan bahasa minoritas.
Jerman, tahun lalu menampung lebih dari satu juta orang yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan, baru-baru ini membawa program penyesuaian khusus pembelajaran bahasa bagi para murid imigran. Namun dikatakan juga dalam laporan OECD, tanpa ada dukungan dari orangtua maka para murid akan gagal mengkonsolidasikan kemajuan mereka, “Laporan OECD juga tidak berbeda jauh dengan laporan AIESEC, “sebut Jeriko.
Koordinator komite lokal AIESEC Universitas Indonesia (UI), Cania Mutia, mengungkapkan bahwa jumlah anak-anak di Indonesia khususnya di Jakarta sebagai barometer, yang tidak melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (SMP) masih sangat tinggi.
Menurut Cania, pihaknya pernah membuat sebuah penelitian mengenai masalah pendidikan. Untuk di Jakarta saja, masih banyak anak yang tidak bersekolah sampai SMP, bahkan di Jakarta Timur ada anak yang tidak pernah sekolah sama sekali.
“Kalau di Jakarta saja masih terjadi, apalagi yang di daerah terpencil,” ungkap Cania saat menggelar kampanye All The Greates Children saat car free day di Jakarta, Minggu (6/2/2016).
Menurut Cania, masalah tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman bahwa pendidikan itu penting di masyarakat. Dia menambahkan, Masih banyak orangtua yang memandang mencari kerja dan menghasilkan uang jauh lebih penting ketimbang sekolah. Karena itu, sang anak pun hanya berniat sekolah sampai jenjang sekolah dasar.
Berangkat dari persoalan itu, AIESEC UI menginisasi program All The Greatest Children. Tujuannya untuk memberikan pemahaman mengenai pendidikan. Demikian juga Pemda lebih sering jadikan pendidikan sebagai politisasi dalam menghambat program nasional tersebut, jelas Jeriko.
AIESEC merupakan sebuah organisasi perkumpulan pelajar dari seluruh dunia yang mendukung generasi muda mengembangkan potensi mereka agar mampu memberikan kontribusi positif dalam lingkungannya. (IAH)